Minggu, 21 September 2014

TEORI BELAJAR BAHASA

2.1       Teori Belajar Bahasa
Teori menurut Kerlinger dalam Ismail (2013) merupakan suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan gubungan yang ada diantara variabel-variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala-gejala tersebut. Sedangkan teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dimulai dari tidak bisa berkomunikasi antar sesama manusia menjadi berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori itu sendiri adalah untuk menyempurnakan suatu praktik sehingga dapat memperjelas sesuatu dan membuat orang mengerti sesuatu.
Ellis dalam Ismail (2013) mengatakan bahwa setiap guru pasti memiliki teori tentang pembelajaran, tetapi sebagian guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. adapun beberapa teori dalam pembelajaran bahasa adalah teori kognitifisme, behaviorisme, mentalis/nativis, dan interaktif.
2.1.1    Teori Kognitif
Teori Kognitif bersifat rasionalis. Itu artinya kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Teori ini menganggap belajar sebagai pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Teori-teori yang termasuk ke dalam kelompok kognitif holistik di antaranya:
1.       Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wetheimer
2.       Teori Medan (field theory), dengan tokohnya lewin
3.       Teori organismik yang dikembangkan oleh wheeler
4.       Teori humanistic, dengan tokohnya maslow dan rogers
5.       Teori konstruktivistik, dengan tokohnya jean piaget
Menurut Piaget dalam Wati (2013), manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman karena manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gelaja baru dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Adapun prosesnya sebagai berikut;
1.      Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2.      Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3.      Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4.      Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Dalam proses pembelajaran, siswa harus diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan tentunya dibantu oleh guru. Guru harus memberikan banyak rangsangan kepada siswa agar secara aktif mau berinteraksi dengan lingkungannya. Adapun implikasi teori perkembangan menurut Piaget sebagai berikut:
1.      Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menggunakan bahasa yang mudah untuk dimengerti oleh anak karena bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa
2.      Guru harus membantu siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya karena Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing agar siswa tidak merasakan bosan dalam belajar.
4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.      Anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya di kelas.
Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget adalah:
1.        Tahap sensorik motorik ( 0-2 tahun)
2.        Tahap preoperasional (2-6 tahun)
3.        Tahap operasional kongkrit (6-12 tahun)
4.        Tahap formal yang bersifat internal (12-18 tahun)

2.1.2    Teori Behavioristik
Teori Behavioristik bersifat empiris, yang artinya berdasarkan pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan, percobaan, pengamatan yg telah dilakukan). Teori ini mengungkapkan kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan dalam Wati (2013), beberapa prinsip tersebut adalah:
1.      Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2.      Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3.      Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
 Dalam teori behavioristik, ada beberapa teori belajar yang bisa dikelompokkan kedalamnya, yaitu; Koneksionisme, dikembangkan oleh Thorndike. Classical Conditioning, dikembangkan oleh Pavlop. Operant conditioning, dikembangkan oleh Skinner. Systematic Behavior, dikembangkan oleh Hull. Yang terakhir adalah Contiguous Conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie (Wati: 2013)
Teori yang dikemukakan Edward Lee Thorndike adalah Koneksionisme. Dalam teori ini, belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang mungkin bisa dilakukan. Jadi, pada teori ini Thorndike memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi atau hubungan antara kesan panca indera (sence of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action). Dalam teori Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum belajar, yaitu;
1.      The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar)
Hukum kesiapan belajar yaitu semakin siap individu memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.  Contohnya  jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menggambar akan menghasilkan prestasi memuaskan
2.      The Law of Exercise (hukum latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3.      The Law of Effect (hukum pengaruh)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Teori selanjutnya adalah Classical Conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov. Konsep teori ini tidak jauh berbeda dengan Thorndike. Pada teori ini, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions), dapat berupa latihan yang dilakukan secara terus menerus sehingga menimbulkan reasksi (response).
Teori yang dikemukakan oleh skinner adalah operant conditioning. Operant conditioning adalah perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar. Perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, maka perilaku itu akan terus dipertahankan. Tetapi, bila kurang adanya penguatan, maka perilaku itu akan diperlemah atau pelan akan disingkirkan. Contohnya, jika seorang anak meminta untuk dibelikan sesuatu tetapi ibunya tidak membelikan, kemudian anak tersebut menangis lalu kemudian ibunya membelikan. Maka, anak tersebut akan mempertahankan sikapnya dengan cara menangis tersebut jika suatu saat menginginkan sesuatu tetapi tidak dipenuhi.
Systematic Behavior dikemukakan oleh Clark L. Hull. Pada teori ini, suatu kebutuhan harus ada pada diri seseorang yang sedang belajar, kebutuhan itu dapat berupa motif, maksud, ambisi, atau aspirasi. Dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar individu. Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang. Jadi pada diri seseorang harus ada motif sebelum belajar terjadi atau dilakukan Tugino (2013).
Teori Contiguous Conditioning yang dikemukakan oleh Guthrie, merupakan penegasan dari teori yang dikemukan oleh Thorndike dan Pavlov. Guthrie dalam Wati (2013) menyatakan dalam hukumnya “The Law of Association” yang berbunyi “A combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be followed by that movement”. Hukum tersebut dapat didefinisikan sebagai gabungan atau kombinasi suatu stimulus yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori behaviorisme ini menekankan pada hubungan antara stimulus dengan respons. Kedua hal ini memiliki arti penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan dalam belajar. Sebagai guru, haruslah banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan).
  
2.1.3        Teori Mentalis/Nativis
Teori mentalis ini dikemukakan oleh N, Chomsky. Teori ini merupakan kebalikan dari teori Behaviorisme. Teori ini cenderung bersifat batiniah. Pada teori ini pemerolehan bahasa tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu apalagi dalam waktu yang singkat. Jadi, pada teori ini perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan dan seorang anak lahir dengan piranti bawaan dan segudang potensi bawaan untuk memperoleh bahasa. Adapun beberapa pendapat kaum mentalis tentang pembelajaran dan pemerolehan bahasa yang dikutip oleh Sapani dalam Ismail (2013):
a)      Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia
b)      Perilaku bahasa adalah suatu yang diturunkan
c)      Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami
d)     Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya
e)      Setiap anak sudah dibekali dengan piranti penguasaan bahasa sebagai bawaan dari lahir
f)       Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang
g)      Belajar bahasa tidak sekedar latihan-latihan mekanistis melainkan lebih kompleks
Dengan kata lain, bahasa merupakan pemberian biologis dan sudah ada sejak lahir sehingga menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Para kaum Nativis juga mengatakan bahwa bahasa juga sangat kompleks, sehingga tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain, yang dalam hal ini adalah hewan. Menurut Chomsky, setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device).  Jadi, pada hakikatnya belajar bahasa hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut. Mc. Neil dalam Sarimanah (2011) mendeskripsikan bahwa LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
1.    Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
2.     Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
3.    Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin.
4.    Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Jadi pada initinya teori ini lebih menekankan pada cara manusia memperoleh bahasa yang telah ia miliki, dan cenderung pada bahasa yang telah dimiliki seseorang merupakan sebuah anugrah yang sedikit demi sedikit akan mengalami perkembangan hingga ia mampu membuka kemampuan berkomunikasi yang akan dimilikinya.




2.1.4        Teori Interaktif
Teori interaktif bisa juga disebut teori fungsional. Pada teori ini, bahasa merupakan perpaduan faktor genetik dan lingkungan. Bahasa juga dianggap sebagai bentuk dari kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia dan berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Para ahli interaksionis yang salah satunya adalah Vygotsky menjelaskan bahwa berbagai faktor seperti sosial, linguistik, kematangan, biologis, dan kognitif, saling mempengaruhi, berinteraksi, dan memodifikasi satu sama lain sehingga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa individu.
Ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Vygotsky, yaitu:
1.        Pembelajaran sosial
     Pembelajaan sosial adalah pendekatan yang dipandang sesuai dengan pembelajaran kooperatif. Pada pembelajaran ini, siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang sebayanya.
2.        ZPD (Zone of Proximal Development)
Siswa dapat mempelajari konsep-konsep jika berada dalam ZPD. Jika siswa tidak dapat menyelesaikan masalah sendiri, siswa bisa mendapatkan bantuan dari temannya.
3.        Masa Magang Kognitif
Suatu proses dimana siswa mendapat kecakapan intelektual dari orang yang lebih ahli, dewasa atau teman yang lebih pandai.
4.        Pembelajaran Termediasi
Siswa diberi masalah yang kompleks dan sulit tapi kemudian diberikan bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah.

Dalam penerapannya, Vygotsky menjelaskan walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Teman sebaya juga merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak. Selain itu, pengajaran oleh teman sebaya juga diperlukan untuk mempercepat perkembangan anak.



DAFTAR PUSTAKA


Az Zahro, N., Handiri, N., Sanjaya, R., et al. (2012). Teori Teori Belajar Bahasa Dan Asal Usul Bahasa. (Makalah,  Politeknik Kesehatan Surakarta). Retrieved from Http:// Perantauan-Tw.Blogspot.Com/2012/03/Teori-Teori-Belajar-Bahasa-Dan-Asal.Html
Desmita. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja rosdakarya

Ismail, A. 2013. Teori Belajar Bahasa. Tersedia: Http://Lifeiseducation09.Blogspot.Com/20  13/03/Teori-Belajar-Bahasa.Html
Santrock, J. (2012). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit           Erlangga

Tugino. 2013. Teori Belajar Menurut Para Ahli. Tersedia: Http://Mastugino.Blogspot.Com /2013/06/Teori-Belajar-Menurut-Para-Ahli.Html Teori Belajar Menurut Para Ahli
Wati, W.  (2010). Strategi Pembelajaran Teori Belajar Dan Pembelajaran. (Makalah, Universitas Negeri Padang 2010) Http://Widya57physicsedu.Files. Wordpress.Com/2010/12/No-29-Widya-Wati-02-Teori-Belajar-Dan-Pembelajaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar