Minggu, 28 September 2014

PERKEMBANGAN SASTRA ANAK INDONESIA



Perkembangan sastra anak dilihat dari umur, adalah sebagai berikut:
Usia 1-2 tahun            :      Rima permainan, macam-macam tindakan
                                           (sedikit memperhatikan kata-kata)

Usia 2-7 tahun         :    Anak mampu memahami struktur cerita: secara simbolik melalui bahasa, permainan dan gambar. Demikian pula anak memahami alur atau hubungan cerita (pendahuluan, klimaks, antiklimaks, dan penutupan)

Usia 7-11 tahun
(operasi konkret)         :      tanggapan yang flexible, memahami struktur sebuah buku, alur sorot balik dan identifikasi berbagai sudut pandang cerita

Usia 11-13 tahun ke atas
(operasi formal)          :      mampu berfikir abstrak, bernalar dari hipotesis ke simpulan logis. Mereka dapat menangkap alur dan subalur dalam pikirannya. Adakalanya terjadi perbedaan minat antara anak lelaki dan perempuan.


referensi:
Hartati, T. (2014). Perkembangan Sastra Anak Indonesia.  bahan kuliah: Universitas Pendidikan Indonesia


Minggu, 21 September 2014

TEORI BELAJAR BAHASA

2.1       Teori Belajar Bahasa
Teori menurut Kerlinger dalam Ismail (2013) merupakan suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan gubungan yang ada diantara variabel-variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala-gejala tersebut. Sedangkan teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dimulai dari tidak bisa berkomunikasi antar sesama manusia menjadi berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori itu sendiri adalah untuk menyempurnakan suatu praktik sehingga dapat memperjelas sesuatu dan membuat orang mengerti sesuatu.
Ellis dalam Ismail (2013) mengatakan bahwa setiap guru pasti memiliki teori tentang pembelajaran, tetapi sebagian guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. adapun beberapa teori dalam pembelajaran bahasa adalah teori kognitifisme, behaviorisme, mentalis/nativis, dan interaktif.
2.1.1    Teori Kognitif
Teori Kognitif bersifat rasionalis. Itu artinya kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Teori ini menganggap belajar sebagai pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Teori-teori yang termasuk ke dalam kelompok kognitif holistik di antaranya:
1.       Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wetheimer
2.       Teori Medan (field theory), dengan tokohnya lewin
3.       Teori organismik yang dikembangkan oleh wheeler
4.       Teori humanistic, dengan tokohnya maslow dan rogers
5.       Teori konstruktivistik, dengan tokohnya jean piaget
Menurut Piaget dalam Wati (2013), manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman karena manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gelaja baru dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Adapun prosesnya sebagai berikut;
1.      Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2.      Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3.      Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4.      Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Dalam proses pembelajaran, siswa harus diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan tentunya dibantu oleh guru. Guru harus memberikan banyak rangsangan kepada siswa agar secara aktif mau berinteraksi dengan lingkungannya. Adapun implikasi teori perkembangan menurut Piaget sebagai berikut:
1.      Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menggunakan bahasa yang mudah untuk dimengerti oleh anak karena bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa
2.      Guru harus membantu siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya karena Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing agar siswa tidak merasakan bosan dalam belajar.
4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.      Anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya di kelas.
Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget adalah:
1.        Tahap sensorik motorik ( 0-2 tahun)
2.        Tahap preoperasional (2-6 tahun)
3.        Tahap operasional kongkrit (6-12 tahun)
4.        Tahap formal yang bersifat internal (12-18 tahun)

2.1.2    Teori Behavioristik
Teori Behavioristik bersifat empiris, yang artinya berdasarkan pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan, percobaan, pengamatan yg telah dilakukan). Teori ini mengungkapkan kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan dalam Wati (2013), beberapa prinsip tersebut adalah:
1.      Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2.      Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3.      Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
 Dalam teori behavioristik, ada beberapa teori belajar yang bisa dikelompokkan kedalamnya, yaitu; Koneksionisme, dikembangkan oleh Thorndike. Classical Conditioning, dikembangkan oleh Pavlop. Operant conditioning, dikembangkan oleh Skinner. Systematic Behavior, dikembangkan oleh Hull. Yang terakhir adalah Contiguous Conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie (Wati: 2013)
Teori yang dikemukakan Edward Lee Thorndike adalah Koneksionisme. Dalam teori ini, belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang mungkin bisa dilakukan. Jadi, pada teori ini Thorndike memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi atau hubungan antara kesan panca indera (sence of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action). Dalam teori Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum belajar, yaitu;
1.      The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar)
Hukum kesiapan belajar yaitu semakin siap individu memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.  Contohnya  jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menggambar akan menghasilkan prestasi memuaskan
2.      The Law of Exercise (hukum latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3.      The Law of Effect (hukum pengaruh)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Teori selanjutnya adalah Classical Conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov. Konsep teori ini tidak jauh berbeda dengan Thorndike. Pada teori ini, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions), dapat berupa latihan yang dilakukan secara terus menerus sehingga menimbulkan reasksi (response).
Teori yang dikemukakan oleh skinner adalah operant conditioning. Operant conditioning adalah perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar. Perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, maka perilaku itu akan terus dipertahankan. Tetapi, bila kurang adanya penguatan, maka perilaku itu akan diperlemah atau pelan akan disingkirkan. Contohnya, jika seorang anak meminta untuk dibelikan sesuatu tetapi ibunya tidak membelikan, kemudian anak tersebut menangis lalu kemudian ibunya membelikan. Maka, anak tersebut akan mempertahankan sikapnya dengan cara menangis tersebut jika suatu saat menginginkan sesuatu tetapi tidak dipenuhi.
Systematic Behavior dikemukakan oleh Clark L. Hull. Pada teori ini, suatu kebutuhan harus ada pada diri seseorang yang sedang belajar, kebutuhan itu dapat berupa motif, maksud, ambisi, atau aspirasi. Dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar individu. Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang. Jadi pada diri seseorang harus ada motif sebelum belajar terjadi atau dilakukan Tugino (2013).
Teori Contiguous Conditioning yang dikemukakan oleh Guthrie, merupakan penegasan dari teori yang dikemukan oleh Thorndike dan Pavlov. Guthrie dalam Wati (2013) menyatakan dalam hukumnya “The Law of Association” yang berbunyi “A combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be followed by that movement”. Hukum tersebut dapat didefinisikan sebagai gabungan atau kombinasi suatu stimulus yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori behaviorisme ini menekankan pada hubungan antara stimulus dengan respons. Kedua hal ini memiliki arti penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan dalam belajar. Sebagai guru, haruslah banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan).
  
2.1.3        Teori Mentalis/Nativis
Teori mentalis ini dikemukakan oleh N, Chomsky. Teori ini merupakan kebalikan dari teori Behaviorisme. Teori ini cenderung bersifat batiniah. Pada teori ini pemerolehan bahasa tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu apalagi dalam waktu yang singkat. Jadi, pada teori ini perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan dan seorang anak lahir dengan piranti bawaan dan segudang potensi bawaan untuk memperoleh bahasa. Adapun beberapa pendapat kaum mentalis tentang pembelajaran dan pemerolehan bahasa yang dikutip oleh Sapani dalam Ismail (2013):
a)      Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia
b)      Perilaku bahasa adalah suatu yang diturunkan
c)      Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami
d)     Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya
e)      Setiap anak sudah dibekali dengan piranti penguasaan bahasa sebagai bawaan dari lahir
f)       Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang
g)      Belajar bahasa tidak sekedar latihan-latihan mekanistis melainkan lebih kompleks
Dengan kata lain, bahasa merupakan pemberian biologis dan sudah ada sejak lahir sehingga menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Para kaum Nativis juga mengatakan bahwa bahasa juga sangat kompleks, sehingga tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain, yang dalam hal ini adalah hewan. Menurut Chomsky, setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device).  Jadi, pada hakikatnya belajar bahasa hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut. Mc. Neil dalam Sarimanah (2011) mendeskripsikan bahwa LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
1.    Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
2.     Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
3.    Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin.
4.    Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Jadi pada initinya teori ini lebih menekankan pada cara manusia memperoleh bahasa yang telah ia miliki, dan cenderung pada bahasa yang telah dimiliki seseorang merupakan sebuah anugrah yang sedikit demi sedikit akan mengalami perkembangan hingga ia mampu membuka kemampuan berkomunikasi yang akan dimilikinya.




2.1.4        Teori Interaktif
Teori interaktif bisa juga disebut teori fungsional. Pada teori ini, bahasa merupakan perpaduan faktor genetik dan lingkungan. Bahasa juga dianggap sebagai bentuk dari kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia dan berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Para ahli interaksionis yang salah satunya adalah Vygotsky menjelaskan bahwa berbagai faktor seperti sosial, linguistik, kematangan, biologis, dan kognitif, saling mempengaruhi, berinteraksi, dan memodifikasi satu sama lain sehingga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa individu.
Ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Vygotsky, yaitu:
1.        Pembelajaran sosial
     Pembelajaan sosial adalah pendekatan yang dipandang sesuai dengan pembelajaran kooperatif. Pada pembelajaran ini, siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang sebayanya.
2.        ZPD (Zone of Proximal Development)
Siswa dapat mempelajari konsep-konsep jika berada dalam ZPD. Jika siswa tidak dapat menyelesaikan masalah sendiri, siswa bisa mendapatkan bantuan dari temannya.
3.        Masa Magang Kognitif
Suatu proses dimana siswa mendapat kecakapan intelektual dari orang yang lebih ahli, dewasa atau teman yang lebih pandai.
4.        Pembelajaran Termediasi
Siswa diberi masalah yang kompleks dan sulit tapi kemudian diberikan bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah.

Dalam penerapannya, Vygotsky menjelaskan walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Teman sebaya juga merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak. Selain itu, pengajaran oleh teman sebaya juga diperlukan untuk mempercepat perkembangan anak.



DAFTAR PUSTAKA


Az Zahro, N., Handiri, N., Sanjaya, R., et al. (2012). Teori Teori Belajar Bahasa Dan Asal Usul Bahasa. (Makalah,  Politeknik Kesehatan Surakarta). Retrieved from Http:// Perantauan-Tw.Blogspot.Com/2012/03/Teori-Teori-Belajar-Bahasa-Dan-Asal.Html
Desmita. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja rosdakarya

Ismail, A. 2013. Teori Belajar Bahasa. Tersedia: Http://Lifeiseducation09.Blogspot.Com/20  13/03/Teori-Belajar-Bahasa.Html
Santrock, J. (2012). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit           Erlangga

Tugino. 2013. Teori Belajar Menurut Para Ahli. Tersedia: Http://Mastugino.Blogspot.Com /2013/06/Teori-Belajar-Menurut-Para-Ahli.Html Teori Belajar Menurut Para Ahli
Wati, W.  (2010). Strategi Pembelajaran Teori Belajar Dan Pembelajaran. (Makalah, Universitas Negeri Padang 2010) Http://Widya57physicsedu.Files. Wordpress.Com/2010/12/No-29-Widya-Wati-02-Teori-Belajar-Dan-Pembelajaran

APLIKASI PSIKOLINGUISTIK DI SEKOLAH DASAR

            Psikolinguistik menurut Harley dalam Psikolinguistik (Dardjowidjojo, 2012) merupakan suatu studi yang mempelajari proses-proses mental dalam pemakaian bahasa. Clark dan Clark (2012) menambahkan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Jadi dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbahasa.
Ada beberapa jenis psikolinguistik, diantaranya psikolinguistik umum, perkembangan dan terapan. Psikolinguistik umum merupakan studi tentang bagaimana pengamatan/persepsi orang dewasa terhadap bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa. Psikolinguistik perkembangan adalah studi psikologi mengenai perolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik perolehan bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua.  Sedangkan psikolinguistik terapan merupakan aplikasi dari teori-teori psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa maupun anak-anak, contoh: membahas tentang pengaruh perubahan ejaan terhadap persepsi kita mengenai ciri visual dari kata­kata, kesukaran-kesukaran pengucapan, program membaca dan menulis permulaan dan bantuan/pengajaran bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa.
Masalah pengajaran bahasa yang terjadi di sekolah dasar tidak akan terlepas dari pembahasan psikolinguistik, sebab masalah pengajaran bahasa adalah masalah psikolinguistik. Aplikasi psikolinguistik di sekolah dasar berhungungan erat dengan kebahasaan, keterampilan dan kesastraan. Psikolinguistik merupakan urat nadi pengajaran bahasa (Simanjutak, 1982). Psikolinguistik dan pengajaran bahasa memang tidak dapat dipisahkan, karena fokus atau tumpuan psikolinguistik adalah pemerolehan bahasa (language acquisition), di samping pembelajaran bahasa (language learning) dan pengajaran bahasa (language teaching). Oleh sebab itu masalah-masalah dalam pengajaran bahasa, seperti masalah metode serta kesulitan membaca dan menulis permulaan di sekolah dasar telah banyak dicoba untuk dipecahkan dalam kajian-kajian psikolinguistik. Terdapat tiga fokus kajian dalam psikolinguistik, yaitu: pemerolehan, pengajaran dan pembelajaran bahasa berkaitan satu sama lain. Satu teori pembelajaran bahasa, misalnya Teori S-R (Stumulus – Response) akan diwarnai oleh keyakinan guru tentang bagaimana bahasa itu diperoleh dan dan dipelajari. Oleh sebab itu sudah selayaknya calon guru, guru dan orang tua siswa sekolah dasar mendalami teori-teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa guna meningkatkan wawasan dan keterampilan mengajarnya.
Aplikasi psikolinguistik di sekolah dasar berhubungan dengan kebahasaan contohnya adalah mengajarkan anak dengan keterbelakangan mental dan menangani anak dengan keterlambatan atau gangguan bicara dengan metode bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Dengan penggunaan pendekatan bahasa ibu, anak mudah memahami apa yang ingin kita sampaikan kepadanya. Melalui metode tersebut, anak dapat menunjukkan perkembangannya dan memahami materi yang diajarkan.
Aplikasi psikolinguistik di sekolah dasar berhubungan dengan keterampilan contohnya adalah mengajarkan keterampilan membaca dan penulisan dengan menggunakan metode SAS. Ini didasarkan adanya para pengamat dan pakar pendidikan menilai, bahwa siswa sekolah dasar sekarang hanya pandai menghafal, tetapi tidak mampu memecahkan masalah yang  menuntut kemampuan analitis.  Metode SAS dianggap paling efektif dan efisien untuk mengajarkan membaca permulaan. Metode tersebut menggunakan globalitas dalam wujud cerita untuk mengawali tiap pelajaran. Dalam cerita tersebut disisipkan kata atau kalimat yang nantinya akan diajarkan kepada siswa.
Aplikasi psikolinguistik di sekolah dasar berhubungan dengan kesastraan contohnya adalah mengajarkan anak dengan cara bercerita. Cerita merupakan medium yang sangat baik. Cerita yang diceritakan dengan baik, dapat menginspirasikan suatu tindakan, membantu perkembangan apresiasi cultural, kecerdasan emosional, memperluas pengetahuan anak-anak atau hanya menimbulkan kesenangan. Selain itu, mendengarkan cerita, membantu anak-anak memahami dunia mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Ketika anak-anak mendengarkan cerita, mereka akan menggunakan imajinasi mereka untuk menggambarkan isi cerita dari deskripsi pembaca cerita.


DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Junaedi, R. 2012. Gangguan bicara pada mila (anak dengan down syndrome). Tersedia. http://ngurahkenzzo.blogspot.com/2012/01/gangguan-bicara-pada-mila-anak-dengan. html

Subyantoro. 2007. Model Bercerita Untuk Meningkatkan Kecerdasan Anak: Aplikasi Psikolinguistik. Vol 19 pp 261-273

BOOK REPORT (Introduction to Behavioral Research Methods) chapter 5

BOOK REPORT
(chapter 5)



1.1    Identitas Buku
Judul Buku      : Introduction to Behavioral Research Methods
Pengarang       : Mark R Leary
Penerbit           : Pearson
Tahun              : 2008

1.2    Latar Belakang
Setiap tahun federal antar forum keluarga dan anak mengeluarkan laporan yang menggambarkan hasil penelitian yang berhubungan dengan kejahatan, merokok, penggunaan narkoba, gizi, dan topik lainnya yang relevan dengan kesejahteraan anak-anak dan remaja di Amerika Serikat. Laporan terbaru menunjukkan bahwa banyak siswa SMA Amerika terlibat dalam perilaku yang mungkin memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mereka. Sebagai contoh, dalam survei nasional melaporkan bahwa 14% dari senior pada sekolah tinggi merokok setiap hari, 23% mengindikasikan bahwa mereka telah mabuk berat dalam dua minggu terakhir, dan 23% mengatakan bahwa mereka telah menggunakan obat-obatan terlarang dalam 30 hari sebelumnya. Persentase untuk remaja yang lebih muda, meskipun lebih rendah, juga menunjukkan tingkat tinggi perilaku berisiko: Data siswa kelas delapan menunjukkan bahwa 4% merokok secara teratur, 11% minum berat, dan 9% telah menggunakan obat-obatan terlarang pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, studi juga menunjukkan jumlah orang muda yang menjadi korban kejahatan kekerasan (seperti perampokan, pemerkosaan, penyerangan, dan pembunuhan) telah menurun tajam dalam dekade terakhir.
Hasil penelitian di atas adalah hasil penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan karakteristik atau perilaku dari populasi tertentu secara sistematis dan akurat. Biasanya, penelitian deskriptif tidak dirancang untuk menguji hipotesis melainkan dilakukan untuk memberikan informasi tentang karakteristik sosial, perilaku, ekonomi, atau psikologis fisik dari sekelompok orang. Kelompoknya mungkin sebesar penduduk dunia atau sekecil siswa di sekolah tertentu. Penelitian deskriptif dapat dilakukan untuk memperoleh informasi dasar tentang kelompok kepentingan atau untuk memberikan kepada instansi pemerintah dan kelompok-kelompok pembuatan kebijakan lain data spesifik tentang masalah sosial.
  

BAB II
PEMBAHASAN


          Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang menggambarkan karakteristik atau perilaku dari populasi tertentu secara sistematis dan akurat. Diperkuat dengan pendapat Furchan dalam Basir (2011) bahwa Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya dengan cara menelaah secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas, dilakukan secara cermat, tidak adanya perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, dan tidak adanya uji hipotesis. Menurut Leary, penelitian deskriptif tidak dirancang untuk menguji hipotesis tapi diciptakan untuk memberikan informasi tentang karakter fisik, sosial, perilaku, ekonomi, atau psikologi dari beberapa kelompok orang. Pada penelitian deskriptif mungkin dilakukan untuk memperoleh informasi tentang suatu kepentingan atau untuk memberikan data spesifik tentang masalah sosial kepada badan-badan pemerintah dan kelommpok pembuatan kebijakan lain.

2.1         MACAM-MACAM  PENELITIAN DESKRIPTIF
Menurut Masyhuri dan Zainuddin dalam buku Metodologi Penelitian (2008), terdapat berbagai macam-macam penelitian deskriptif, seperti survei, deskriptif, studi kasus, penelitian komparatif, analisis kerja dan aktivitas, dan studi waktu dan gerakan. Namun, Leary dalam bukunya hanya mengungkapkan tiga macam jenis penelitian pada penelitian deskriptif, yaitu survei, penelitian perkembangan, dan penelitian epidemiologi.

1.      Penelitian survey
Penelitian survei merupakan jenis yang paling umum dari penelitian deskriptif. Penelitian ini digunakan dalam hampir setiap bidang ilmu sosial dan perilaku. Menurut Masyhuri dan Zainuddin (2008) banyak sekali masalah dapat diteliti dengan menggunakan metode survey, termasuk bidang produksi, pemasaran, tenaga kerja, komunikasi usahatani, pendidikan dan sebagainya. Tujuan penelitian survei untuk memberikan penjelasan mengenai sikap, pikiran dan perasaan orang/masyarakat. Dalam bidang psikologi, psikolog menggunakan survei untuk menyelidiki tentang sikap, gaya hidup, perilaku dan masalah dalam masyarakat. Sosiolog menggunakan survei untuk belajar prefensi politik dan sistem keluarga. Peneliti politik menggunakan survei untuk mempelajari sikap politik dan untuk memprediksi hasil pemilihan. Peneliti pemerintah melakukan suvei untuk mengetahui masalah sosial. Pembuat iklan melakukan survei untuk mengetahui sikap pembeli dan pola pembelian. Contoh dari penelitian survey dalam bidang pendidikan misalnya penelitian terhadap respon mahasiswa jurusan Pendidikan Dasar terhadap mata kuliah statistika.  
Penelitian survei menggunakan kuesioner dan wawancara untuk mengumpulkan informasi tentang sikap masyarakat, kepercayaan, perasaan, perilaku, dan gaya hidup. Survei banyak dilakukan dengan cara bertemu langsung, seperti ketika seseorang direkrut untuk memberikan laporan pada pusat survei atau pejalan kaki yang diberhentikan di jalan untuk menjawab pertanyaan, tetapi beberapa beberapa diantaranya dilakukan melalui telepon, melalui pesan elektronik (email) atau pada web. Dalam penelitian survei terdapat beberapa disain penelitian, yaitu; cross sectional, Successive independent samples survei design, Longitudinal atau panel survei design, dan Internet survei.

2.      Penelitian demografis (perkembangan)
Penelitian perkembangan berkaitan dengan pola yang menggambarkan peristiwa dan pengalaman dalam kehidupan seperti kelahiran, menikah, bercerai, pekerjaan,  migrasi, dan kematian. Penelitian ini umumnya di lakukan dalam periode longitudinal dengan waktu tertentu, bertujuan guna menemukan perkembangan demensi yang terjadi pada seorang respoden. Hal yang sering menjadi perhatian peneliti ini, misalnya: intelektual, fisik, emosi, reaksi terhadapan tertentu, dan perkembangan sosial anak. Studi perkembangan ini biasa dilakukan baik secara cross-sectional atau logiotudinal.
Jika penelitian dilakukan dengan model cross-sectional, peneliti pada waktu yang sama dan disimultan menggunakan berbagi tingkatan variabel untuk diselidiki. Data yang diperoleh dari masing-masing tingkat dapat dideskripsi dan kemudian di komparasi atau dicari tingkat asosiasinya. Pada model ini terdapat beberapa keuntungan, yaitu dapat dilakukan dengan hanya sekali pengamatan, Lebih murah di banding dengan penelitian lainnya, serta berguna untuk informasi perencanaan.
Dalam penelitian perkembangan model longitudinal, peneliti menggunakan responden sebagai sampel tertentu, misalnya: satu kelas satu sekolah, kemudian dicermati secara intensif perkembangannya secara terus menerus atau kontinu dalam jangka waktu tertentu seperti tiga bulan, enam bulan, satu tahun. Semua fenomena yang muncul didokumentasi untuk digunakan sebagai informasi dalam menganalisis guna mencapai hasil penelitian (Basir: 2011).

3.      Penelitian epidemiologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Epidemiologi merupakan ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebarannya. Sama halnya seperti yang dikemukakan Leary bahwa penelitian epidemiologi digunakan untuk mempelajari terhadinya suatu penyakit dalam kelompok orang yang berbeda. Penelitian epidemiologi umumnya dilakukan oleh peneliti medis yang mempelajari pola dari kesehatan dan penyakit. Psikolog juga tertarik pada epidemiologi karena 2 alasan. Pertama, banyak penyakit dan cedera disebabkan oleh perilaku dan gaya hidup seseorang. Kedua, beberapa penelitian epidemiologi menggambarkan prevalensi dan insiden gangguan psikologis

2.2         SAMPLING
          Sampling adalah proses dimana peneliti memilih sampel dari partisipan untuk mempelajari minat populasi. Dalam penelitian, bermutu atau tidak hasil penelitian akan ditentukan juga oleh penarikan sampel. Sebab apabila sampel yang dipilih salah, maka penelitian dikatakan gagal (Masyhuri dan Zainuddin: 2008). Agar tidak gagal, peneliti harus pandai-pandai memilih metode penarikan sampel setepat mungkin dan dapat memberikan hasil sebaik mungkin. Leary mengemukakan dua sampel yang fokus pada cara-cara dimana peneliti memilih sampel peserta untuk dipelajari.

1.      Probability sample
               Probability sample merupakan sampel yang mungkin didapatkan dalam beberapa cara, yaitu Pengambilan acak sederhana (Simple random sampling), Pengambilan acak berdasarkan lapisan (Stratified random sampling), dan Pengambilan acak berdasar area (Cluster sampling).
               Pengambilan acak sederhana (Simple random sampling) merupakan sebuah metode untuk memilih anggota sampel yang dinotasikan dengan ‘n’ dari anggota populasi yang dinotasikan dengan ‘N’, sehingga anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel, tidak ada deskriminasi terhadap anggota populasi. Menurut Leary, untuk memperoleh simple random sampling, peneliti harus mempunyai kerangka sampel, populasi haruslah homogen, dan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis agar memudahkan melakukan penelitian. Kerangka sampel adalah daftar dari populasi dimana sampel akan ditarik kemudian diteliti. Pengambilan sampel harus dengan cara undian sehingga setiap unit mempunyai peluang yang sama. Misalnya setiap unit penelitian dalam daftar kerangka sampling ditulis pada secarik kertas. Kertas-kertas tersebut kemudian dimasukkan kedalam kotak, kemudian dikocok dan sejumlah gulungan kertas tersebut diambil sesuai dengan sejumlah sampel yang direncanakan. Nomor-nomor yang terambil menjadi unit elementer yang terpilih menjadi sampel.
               Pengambilan acak berdasarkan lapisan (Stratified random sampling) merupakan variasi dari sample random sampling. Dalam praktek sering dijumpai populasi yang tidak homogen. Makin heterogen populasi, makin besar perbedaan sifat antara lapisan-lapisan tersebut. Maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah melakukan pembagian dalam lapisan-lapisan atau strata yang beragam, dan setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Dalam menggunakan metode ini berarti semua lapisan (sub populasi) dapat diwakili. Misalnya stratifikasi pada pendapatan pedagang yang kemudian dstatifikasi atas dasar skala usaha, menjadi pedagang usaha kecil, menengah dan usaha besar. Pengambilan sampel sampel ini juga dipakai dalam penelitian misalnya prestasi anak pada dua masyarakat yang berbeda dengan tingkatan sosial ekonomi, keadaan keluarga, dan lingkungan yang berbeda.
               Lain hal dengan Pengambilan acak berdasar area (Cluster sampling), cluster sampling merupakan suatu metode pemilihan suatu sampel dari kelompok yang berbeda (cluster), dari unit-unit yang lebih kecil yang disebut elemen-elemen. Cluster sampling dapat dipilih lewat pengambilan contoh acak atau sistematik dengan suatu awal random. Sama dengan strata pada stratified random sampling, cluster merupakan sub populasi yang secara khas saling mengisi yang bersama-sama meliputi seluruh populasi. Teknik sampling ini paling banyak digunakan, karena cluster sampling mempunyai 2 keuntungan. Pertama, tidak membutuhkan kerangka sampel untuk memulai sampling, hanya daftar kelompok. Kedua, kelompok menampilkan grup yang berdekatan secara geografis. (misalnya murid dalam satu wilayah atau satu sekolah). Sedikit waktu dan usaha yang diperlukan untuk menghubungi para partisipan.

2.      Nonprobability sample
       Sama seperti probability sample, nonprobability sample pun memiliki beberapa sampel, yaitu Convenience sampling (sampel kenyamanan), Quota sampling (sampel kuota), dan Purposive sampling (sampel secara sengaja).
       Pada Convenience sampling (sampel kenyamanan), peneliti menggunakan siapapun yang siap dan tersedia untuk menjadi partisipan. Kita dapat mengambil partisipan dimanapun berada. Selain itu, kita dapat memberhentikan 150 orang yang sedang berbelanja yang kita temui di jalan pusat kota, orang yang sedang menunggu dibandara atau terminal bus, menghubungi pasien dirumah sakit, atau dengan siswa psikologi.
       Quota sampling (sampel kuota) merupakan sampel kenyamanan yang penelitinya mengambil langkah untuk memastikan bahwa beberapa jenis peserta diperoleh dalam proporsi tertentu. Sedangkan, Pada sample purposive (sampel secara sengaja), teknik pengambilan sampelnya dilakukan secara sengaja, peneliti menggunakan penilaian mereka untuk memutuskan partisipan mana yang akan dimasukan kedalam sampel. Peneliti memilih responden yang perwakilan dari populasi. Jadi, sampel diambil tidak secara acak, tapi ditentukkan sendiri oleh peneliti. Namun, pada sampel ini pula penilaian peneliti tidak bisa diandalkan sebagai sesuatu yang dipercaya untuk memilih sampel.

2.4         MENDESKRIPSIKAN DAN MENYAJIKAN DATA
Deskripsi adalah bukanlah tujuan utamanya, peneliti harus selalu memutuskan bagaimana untuk meringkas dan mendeskripsikan datanya dengan penuh makna dan berguna. Namun para peneliti haruslah memperhatikan kriteria desripsi yang baik untuk menjadi deskripsi yang baik, deskripsi dari data harus mencakup 3 kriteria; akurat, ringkas namun padat dan dapat dimengerti. Pertama, data harus diringkas dan dijelaskan secara akurat. Peneliti harus selalu menghadirkan data mereka dengan cara yang akurat mewakili data. Contohnya, statistik dapat meringkas dan menggambarkan data lebih akurat. Kedua, data juga harus diringkas dalam bentuk padat dan bermakna. Peneliti harus selektif pada data yang mereka pilih untuk disajikan dan data yang disajikan adalah data yang paling jelas dan menggambarkan hasil. Terakhir, penjelasan dari data haruslah mudah untuk dimengerti. Terlalu banyak menyajikan tabel, grafik, atau data statistik dapat mengaburkan hasil dan akan membuat bingung. Maka, peneliti hendaknya memilih data yang jelas serta cara yang mudah untuk menjelaskan data. Dalam analisis dekriptif pada umumnya adalah termasuk mengukur tendensi sentral,mengukur variabilitas, mengukur hubungan, mengukur perbandingan dan mengukur posisi suatu skor (Bunaiya: 2012)
Untuk mendeskripsikan data, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat tabel distribusi frekuensi. Distribusi frekuensi merupakan salah satu bentuk penyajian data. Tabel distribusi frekuensi dibuat agar data yang telah dikumpulkan dalam jumlah yang sangat banyak dapat disajikan dalam bentuk yang jelas dan baik. Dengan kata lain, tabel distribusi frekuensi  dibuat untuk menyederhanakan bentuk dan jumlah data sehingga ketika disajikan kepada para pembaca dapat dengan mudah dipahami atau dinilai. Distribusi frekuensi dibagi menjadi 2 yaitu, Distribusi frekuensi sederhana dan Distribusi frekuensi berkelompok.
Distribusi frekuensi sederhana merupakan salah satu jenis tabel statistik yang di dalmnya disajikan frekuensi dari data angka, dimana angka yang ada tidak dikelompokkan. sedangkan distribusi frekuensi berkelompok merupakan salah satu jenis tabel statistik yang di dalamnya disajikan pencaran frekuensi dari data angka, dimana angka-angka tersebut dikelompokkan (Bunaiya: 2012).
Tindakan selanjutnya setelah membuat tabel distribusi frekuensi adalah mengitung tendensi sentral. Tindakan ini dalam rangka menyampaikan informasi tentang distribusi dengan menyediakan informasi tentang rata-rata atau skor yang paling sering muncul. Ada tiga ukuran tendensi sentral yang sering digunakan, yang masing-masing memberitahu kita sesuatu yang berbeda tentang data, yaitu Mean, Median dan Modus. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, mean disini berarti nilai rata-rata. Median medipakan nilai tengah. Dan modus adalah nilai yang paling sering muncul. Setelah menghitung tendensi sentral, yang dapat membantu kita mengetahui rata-rata atau nilai yang paling sering muncul, selanjutnya kita akan menghitung variabilitas. Karena dalam hal ini peneliti secara khusus meneliti variabilitas perilaku, peneliti harus menggunakan statistik yang dapat menunjukkan jumlah variabilitas dalam data. Dalam menghitung variabilitas termasuk didalamnya menghitung  Standar Deviasi, Varian, Quartil, Desil, Persentil. Menurut Leary, standar deviasi sangatlah berguna. Dengan mengetahui rata-rata dan standar deviasi dari data, kita juga dapat memberitahu bahwa tidak hanya data tersebut bervariasi tetapi juga mereka didistribusikan di berbagai rentang skor. Setelah melalui tahapan yang sebelumnya sudah dijelaskan, tahapan selanjutnya adalah menghitung nilai Z (Z score). Menghitung nilai Z adalah untuk membandingkan posisi seseorang dengan orang lain dalam kelompok masing-masing.
   

BAB III
PENUTUP


3.1       KESIMPULAN
Penelitian deskriptif dirancang untuk menggambarkan karakteristik atau perilaku dari populasi tertentu dengan cara sistematis dan akurat. Ada beberapa macam penelitian dalam peneliatan deskriptif yaitu Penelitian survey, demografis, dan epidemiologi.
Dalam sebuah penelitian, terdapat proses sampling. Dalam proses tersebut ada 2 teknik pengambilan sampel yang bisa dipilih pada penelitian deskriptif, sampel probabilitas dan sampel nonprobabilitas. Pada sampel probabilitas, peneliti dapat menentukan probabilitas bahwa setiap individu dalam populasi akan dimasukkan dalam sampel . Dengan sampel probabilitas, kesalahan estimasi dapat diperkirakan dan memungkinkan para peneliti untuk mengetahui seberapa akurat data sampel mereka menggambarkan populasi. Sedangkan pada sampel nonprobability, seperti sampel kenyamanan, kuota, dan sampel secara sengaja, peneliti tidak memiliki cara untuk menentukan sejauh mana mereka mewakili populasi. Meski begitu, sampel nonprobability digunakan jauh lebih sering dalam penelitian perilaku dari sampel probabilitas

Para peneliti mencoba untuk menggambarkan data mereka dengan cara yang akurat, ringkas, dan mudah dipahami. Maka dari itu, sebuah deskripsi statistik lengkap satu set data yang biasanya melibatkan langkah-langkah dari kedua tendensi sentral (mean, median, modus) dan variabilitas (range, varians, standar deviasi).
  



DAFTAR PUSTAKA


Amelia, W. 2010. Epidemiologi Dan Peranannya Didalam Pemecahan Masalah Kesehatan. (Makalah, Universitas Diponegoro, 2010) Retrieved from http://windaamelia.wordp ress.com /2010/10/15/tugas-makalah-epidemiologi/
Basir, A. 2011. Metode Penelitian Deskriptif. (Makalah, Institut Islam Nahdlatul Ulama Jepara, 2011) Retrieved from http://coretanpenapribadi.blogspot.com/2013/08/makala h-metode-penelitian-deskriptif.html
Bunaiya, A. 2012. Distribusi Frekuensi (Pengertian, Jenis Tabel, Macam-macam Grafik dan Cara Membuat Tabel). Tersedia: http://bunayhartop.blogspot.com/2012/03/distribusi-frekuensi-pengertian-jenis.html.

Leary, M. R. (2008). Indtoduction to Behavioral Research Methods. USA: Pearson.

Masyhuri., Zainuddin. 2008. Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama.